MENANGGULANGI KEMISKINAN, MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU DI TAHUN 2009 Melalui Program Kredit Usaha Rakyat


Sejak diluncurkan oleh Presiden R.I Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 5 November 2007, jumlah KUR (Kredit Usaha Rakyat) telah mencapai Rp6,8 triliun dengan 672 ribu debitor. Jika dibandingkan dengan jenis kredit lain, maka pertumbuhan KUR yang hampir Rp.1 triliun per bulan merupakan prestasi yang luar biasa. Tujuan diluncurkannya KUR adalah (i) untuk mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM; (ii) untuk meningkatkan akses pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi; (iii) untuk penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja.

Dengan melihat tiga tujuan tersebut, apakah di praktik di lapangan telah sejalan ataukah justru masih terdapat kendala yang signifikan, baik yang dihadapi oleh calon debitor, perbankan, maupun pihak penjamin.

Latar Belakang KUR

Sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah unit UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di Indonesia mencapai angka 48,8 juta unit usaha. Namun demikian, dari jumlah tersebut, yang telah memperoleh kredit dari perbankan hanya sekitar 39,06% atau 19,1 juta, sehingga sisanya sejumlah 29,7 juta sama sekali belum tersentuh perbankan. Dari sejumlah 48,8 juta UMKM tersebut ternyata 90 persennya adalah Usaha Mikro yang berbentuk usaha rumah tangga, pedagang kaki lima, dan berbagai jenis usaha mikro lain yang bersifat informal, di mana pada skala inilah paling banyak menyerap tenaga kerja (pro

job) dan mampu menopang peningkatan taraf hidup masyarakat (pro poor). Apabila tidak ada upaya khusus dari pemerintah, dikhawatirkan perbankan masih akan menghadapi kesulitan untuk dapat memberikan kredit kepada UMKM karena pada umumnya walaupun UMKM telah feasible namun belum bankable. Perbankan dituntut menerapkan manajemen risiko secara international best practices (Basel 2) yang tidak cocok dengan kondisi UMKM khususnya dan kondisi makro ekonomi Indonesia. Meskipun sebelum tahun 2007, cukup banyak program pemerintah yang ditujukan untuk mempercepat perkembangan UMKM melalui berbagai jenis kredit perbankan sebagaimana tabel 1, namun perkembangan berbagai program tersebut tampaknya belum menarik minat perbankan sehingga dampaknya belum dirasakan secara signifikan oleh para pelaku UMKM di tingkat akar rumput (grass root).

Mempertimbangkan kondisi tersebut, akhirnya Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Inpres No.6 tanggal 8 Juni 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM yang diikuti dengan adanya Nota Kesepahaman Bersama antara Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 9 Oktober 2007 dengan ditandai peluncuran Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM. Akhirnya pada tanggal 5 November 2007, Presiden R.I Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan kredit bagi UMKM dengan pola penjaminan tersebut dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kebijakan penjaminan kredit ini diharapkan akan dapat memberikan kemudahan akses yang lebih besar bagi para pelaku UMKM dan Koperasi yang telah feasible namun belum bankable.

Pemerintah makin menyadari bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan salah satu agenda tahunan yang harus mendapatkan perhatian utama. Hal ini dibuktikan melalui pemaparan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dalam sidang Kabinet Paripurna tanggal 13 Januari 2009 yang memasukkan kesejahteraan rakyat sebagai isu strategis. Perlu diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2008 adalah sebesar 34,96 juta jiwa (15,4%) sedangkan target pemerintah tahun

2009 adalah menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 31 juta jiwa (14%). Pencapaian target ini tertuang dalam rencana Kebijakan Pemerintah (RKP) 2009 yang bertema ”Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan”.

Secara operasional pencapaian target tersebut dilakukan dalam tiga klaster program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan sejak tahun 2008. Klaster pertama, adalah pemberian bantuan dan perlindungan sosial kepada keluarga kurang mampu, melalui Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Bantuan OperasionalSekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Klaster kedua dilakukan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat – Mandiri (PNPM Mandiri). Dan klaster ketiga dijalankan melalui Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Klaster pertama dilakukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, sedangkan klaster kedua dan ketiga berfungsi mendorong produktivitas masyarakat dalam penyediaan barang dan jasa. Sehingga jika diteliti lebih jauh program ini tidak saja berfungsi untuk menanggulangi kemiskinan, tetapi juga sebagai stimulus untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan program Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Maluku juga telah melakukan kegiatan penanggulangan kemiskinan melalui PNPM Mandiri yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan bagi rumah tangga miskin dan membuka lapangan kerja pada sekor informal. Dalam pelaksanaan di lapangan, PNPM Mandiri sebagai klaster kedua ternyata ikut mengakomodasi pelaksanaan klaster pertama dan ketiga. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketiga klaster program pemerintah tersebut bersifat fleksibel. Mereka tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan saling terintegrasi dan melengkapi. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan Program PNPM Mandiri yaitu:

  1. Perlindungan sosial yang diberikan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Bantuan Tunai Bagi Masyarakat Sangat Miskin (RTSM) seperti Program Keluarga Harapan dan Beras Miskin (Raskin)

  1. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dalam bentuk beasiswa dan beasiswa miskin, pelayanan kesehatan dasar, jaminan kesehatan, pelayanan KB bagi masyarakat miskin termasuk PNPM mandiri.
  2. Bersifat pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil diantaranya, SKIM Penjaminan KreditUsaha Kecil Menengah (UKM) termasuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) sampai kepada percepatan pembangunan pusat dan pertumbuhan daerah tertinggal.

Dana yang akan dianggarkan PNPM Mandiri untuk tahun 2009 adalah sebesar Rp.100,09 milyar dengan kombinasi dana APBN dan APBD sekitar 82 : 18. Dana ini akan dialokasikan di Kota Ambon (9% dari total alokasi dana), Buru (7%), Kepulauan Aru (15%), Maluku Tengah (18%), Maluku Tenggara (7%), Maluku Tenggara Barat (18%), Seram Bagian Timur (4%), dan Seram Bagian Barat (17%), dan Kota Tual (5%). Jika dilakukan perhitungan kasar dengan PDRB 2008 (harga konstan) yaitu sebesar Rp. 6,26 trilyun, maka dana stimulus perekonomian ini sekitar 1,6% dari PDRB 2008. Dengan dana yang relatif besar ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Maluku yang oleh Pemerintah Provinsi ditetapkan di atas 6%.

Mekanisme Program PNPM Mandiri

NO

Kegiatan

Keterangan

1

Musyawara Desa

Kegiatan ini dilaksanakan antar desa di Kecamatan untuk mensosialisasikan Program PNPM

2

Musyawara Desa I

Kegiatan ini dilaksanakan untuk pemilihan KMP dan Penggalian gagasan serta mencari kebutuhan program yang diprioritaskan di tingkat Desa

3

Musyawara Desa II

Kegiatan yang dilaksanakan antar desa di Tingkat Kecamatan ini dimaksudkan untuk menyampaikan program yang diusulkan dari Desa serta mencari program prioritas

4

Musyawara khusus

Kegiatan untuk perempuan guna mencari kebutuhan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh kelompok perempuan

5

Musyawara Antar Desa

Kegiatan di Kecamatan untuk mencari ranking/program prioritas dan akan diverifikasi oleh Tim Verifikasi tingkat Kecamatan dan tinjauan lapangan

6

Musyawara antar Desa III

Kegiatan yang dilaksanakan di Kecamatan untuk menentukan Desa yang akan mendapatkan Dana PNPM

7

Musyawara Desa III

Kegiatan yang dilaksanakan ditingkat Desa untuk memberikan informasi tentang hasil musyawara antar Desa Di Kecamatan

8

Pembuatan Rencana Penggunaan Dana (RPD)

Kegiatan di tingkat Desa dari kelompok–kelompok yang sudah ada sebelumnya dan membuat surat pernyataan tanggung renteng dari masing – masing anggota kelompok

9

Rencana Penggunaan Dana (RPD)

Kegiatan yang diajukan ke Unit Pengelola Kecamatan (UPK) untuk diverifikasi oleh Fasilitator Kecamatan

10

Realisasi dana ekonomi produktif

Dana PNPM mandiri dikelola langsung oleh Kelompok dengan sistem Revolving

Kendala di Lapangan

Walaupun KUR telah berhasil memberikan akses pembiayaan yang lebih baik kepada UMKM-K, namun di masa mendatang akselerasinya masih perlu ditingkatkan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dievaluasi kendala penyaluran KUR selama ini. Dari inventarisasi di lapangan, beberapa kendala penyaluran KUR antara lain:

· Belum adanya pemahaman yang seragam terhadap skim KUR, baik oleh para petugas bank di lapangan maupun masyarakat, sehingga mungkin saja masih ada beberapa penyimpangan dan persepsi yang keliru tentang KUR, misalnya: tentang ketentuan agunan, persyaratan administrasi, sumber dana KUR, beroperasinya para calo KUR Mikro dsb.

· Pemenuhan tenaga pemasaran KUR tidak bisa dilakukan seketika oleh perbankan namun harus dilakukan secara bertahap. Hal ini terjadi karena pemberian KUR harus dilaksanakan sesuai prinsip kehati-hatian dalam perbankan sehingga diperlukan kompetensi tenaga kerja yang sesuai.

· Adanya perubahan kondisi makro-ekonomi, misalnya: kenaikan inflasi, kenaikan suku bunga, dll yang menyebabkan permintaan kredit menurun.

Polemik di Masyarakat soal KUR

Secara berurutan, harian Kompas (6 dan 7 Juni) memuat polemik tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR), di mana para calon nasabah KUR mengeluh karena masih diminta agunan tambahan senilai 30% dari nilai kredit. Padahal sesuai kesepakatan antara

pemerintah, perusahaan penjaminan kredit, dan perbankan dijelaskan bahwa nasabah KUR tidak perlu memberikan agunan tambahan. KUR adalah kredit sampai dengan Rp.500 juta yang diberikan oleh beberapa bank yang didukung dengan penjaminan kredit dari PT. Asuransi Kedit Indonesia (Askrindo) dan PT. Sarana Pengembangan Usaha (SPU) sebesar 70% dari nilai kredit, khusus untuk UMKM-K (Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi) yang feksible namun belum bankable.

Jika ditelaah lebih lanjut, timbulnya polemic penyediaan nilai agunan sebesar 30 persen dari nilai kredit sebenarnya disebabkan adanya benturan kepentingan yang berbeda antara pemerintah, perusahaan penjamin kredit, perbankan, dan debitur. Dari sisi pemerintah tentu saja penyaluran KUR sebanyak mungkin adalah indicator kunci keberhasilan pemerintah. Dari sisi perusahan penjamin kredit, penyaluran KUR yang maksimum akan dapat memberikan penerimaan premi penjamin semakin besar, juga jumlah non performing Loan (NPL) yang kecil merupakan indicator kesuksesan program penjaminan. Bagi perbankan, penyaluran KUR yang besar dengan NPL rendah merupakan bisnis yang menguntungkan. Sedangkan dari sisi debitor memperolaeh kredit dengan mudah dan tanpa agunan adalah impian para UMKM-K

Pertanyaan, apakah program KUR ini telah dapat mempertemukan kepentingan yang berbeda tersebut. Pemerintah telah memberikan jaminan melalui perusahan penjamin 70 % dengan harapan perbankan akan lebih berani menyalurkan pinajman. Namun demikian, jika tujuan pemerintah hanya pada besarnya nilai penyaluran krdit, maka seharusnya nilai penjamin tidak haya 70 % namun 100 %, sehingga tidak ada alasan lagi abgi perbankan untuk menolak permintaan kredit yang diajukan oleh UMKM-K walaupun tanpa adanya agunan tambahan. Jika ini dilakukan pemerintah maka UMKM-K dan perbankan akan sangay diuntungkan, namun hal ini akan menimbulka moral hazard bagi mereka. Bagi perbankan, karena tidak ada risiko maka mereka akan dengan mudah untuk memberikan kredit tanpa adanya pertimbangan yang matang. Sedangkan bagi debitor, karena tidak adanya agunan yang diserahkan kepada bank, maka tidak ada resiko jika mereka tidak membayar kewajiban kepada bank. Kalau ini terjadi

maka yang akan menderita kerugian adalah perusahan penjamin karena mereka akan menanggungresiko klaim yang tinggi. Kondisi semacam ini pernah terjadi di era tahun 90-an yang akhirnya menimbulkan kredit macet yang sangat besar di perbankan.

Rasio penjamin kredit sebesar 70 % adalah jalan tengah untuk menyatukan kepentingan semua pihak, namun demikian denan resiko yang ditanggung perbankan masih sebesar 30 % bank wajib untuk memitigasinya. Salah satu cara mitigasi resiko adalah dengan meminta agunan tambahan sebesar 30% dari nilai kredit, khususnya untuk KUR yang mendekati nilai Rp.500 juta. Agunan tambahan ini bukan dimaksudkan untuk mempersulit proses kredit, namun semata-mata untuk menemukan jalan keluar bagi bank agar tetap dapat membiayai UMKM-K. Apabila menurut analisis, ternyata bank belum yakin dengan kemampuan dan keseriusan debitor untuk mengembalikan kredit, khususnya terkait dengan karakter debitor, maka bank memerlukan semacam “komitmen” dari calon debitor dalam bentuk agunan tambahan. Sebaliknya, apabila bank telah yakin bahwa debitor akan mampu dan serius dalam mengembalikan kreditnya, maka pada umumnya bank tidak ada akan meminta agunan tambahan. Perlu menjadi pemahaman kita bersama bahwa apabila pemberian sebuah kredit menjadi macet, maka tanggung jawab sepenuhnya kembali kepada petugas bank, tentunya setelah mempertimbangan berbagai prosedur dan ketentuan yang berlaku.

Dari uraian tersebut adalah hal yang logis apabila perbankan terpaksa meminta agunan tambahan senilai 30% dari nilai kredit kepada calon nasabah KUR dengan jumlah mendekati Rp.500 juta, karena tindakan bank ini sebenarnya untuk menyelamatkan kepentingan semua pihak. Dengan kebijakan tersebut, akhirnya perbankan masih dapat menyalurkan KUR. Kondisi seperti ini jauh lebih baik daripada perbankan tidak jadi menyalurkan KUR kepada UMKM-K karena adanya ketidakyakinan bank terhadap UMKM-K. Dengan melihat jumlah KUR per akhir Mei 2008 yang telah mencapai Rp.6,8 triliun dengan 673 ribu orang, atau rata-rata pinjaman per nasabah sebesar Rp.10,2 juta, maka ini adalah prestasi yang sangat baik di tengah masih terjadinya polemik soal agunan tambahan sebagai catatan akhir, kasus yang terjadi di lapangan di mana petugas bank

terpaksa meminta agunan senilai 30% dari kredit yang diminta calon debitor KUR menurut hemat saya masih dapat ditolerir daripada bank tersebut tidak jadi menyalurkan KUR karena tidak yakin dengan kondisi dan keseriusan debitor. Kalau KUR tidak tersalur, pihak yang akan kehilangan kesempatan adalah UMKM-K juga, karena akhirnya mereka harus bersaing dengan calon debitor lain yang mungkin lebih menarik bagi perbankan untuk membiayai. Sambil melihat perkembangan, lebih bijaksana apabila kita berikan kesempatan kepada perbankan untuk melakukan interaksi dengan UMKM-K calon penerima KUR dengan jumlah mendekati Rp.500 juta, khususnya di area 30 persen risiko dalam rangka mencari solusi terbaik untuk semua pihak.

Harapan ke Depan

Dengan mengetahui berbagai kendala penyaluran KUR, maka perlu disusun strategi ke depan agar penyaluran KUR lebih meningkat. Beberapa strategi yang akan dilakukan perbankan untuk mempercepat penyaluran KUR antara lain:

  • Melanjutkan sosialisasi bersama, dengan koordinasi oleh Sekretaris Wakil Presiden (Setwapres) dan Menko Perekonomian,
  • Melakukan evaluasi dan monitoring bersama Komite Kebijakan dan Departemen terkait setiap bulan,
  • Meningkatkan linkage program dalam rangka percepatan penyaluran KUR, khususnya untuk KUR dibawah Rp5 juta,
  • Pengembangan produk KUR, dengan fitur asuransi jiwa dan kesehatan,
  • Dilakukan keseragaman dalam penyaluran program kredit baik yang melalui PKBL maupun kredit program lainnya.
  • Menindaklanjuti program-program dari Departemen terkait anggota Komite Kebijakan,
  • Lebih fokus mengarah pada sektor pertanian dalam arti luas.

Referensi

Alam Situmorang, Drs., Petunjuk Belajar Ekonomi, Jakarta: Palado Asima Agung,

1997.

Richard G. Lipsey, dkk., Pengantar Ekonomi Jilid 2 Edisi delapan, Jakarta: Erlangga,

1987.

Syamsudin, Drs., Bahan Acuan Kegiatan Belajar Mengajar Ekonomi untuk SMU

Kelas 1, PT. Rakaditu, 1995.

Widayatmini, Pengantar Organisasi & Metode Seri Diktat Kuliah Universitas Gunadarma

http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/


http://www.ekonomirakyat.org/index6.php


http://wahyu.com/2009/01/07/dasar-dasar-ilmu-ekonomi/

0 comments:

Post a Comment